Artikel Detail

Menilik P3B dari Perspektif Substansi, Bukan Sekadar Administrasi

Pemanfaatan P3B dan Ketentuan Substansinya di Indonesia


Indonesia telah menjalin jaringan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan berbagai negara mitra. Keberadaan jaringan ini memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dan investor dalam menjalankan transaksi lintas batas. Melalui P3B, mereka dapat terhindar dari risiko pajak berganda karena adanya pengaturan berupa pengurangan tarif pajak atau pengecualian pajak tertentu di negara sumber penghasilan.


Untuk bisa menikmati manfaat P3B—misalnya memperoleh pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas bunga pinjaman dengan tarif lebih rendah dari tarif normal—pihak penerima penghasilan di luar negeri diwajibkan menyampaikan Surat Keterangan Domisili (SKD) kepada pihak yang melakukan pemotongan PPh di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018 (PER-25), SKD merupakan dokumen resmi berbentuk Formulir DGT yang diisi oleh penerima penghasilan luar negeri dan disahkan oleh otoritas pajak di negaranya.


Menurut Pasal 2 PER-25, penerima penghasilan luar negeri hanya dapat memanfaatkan fasilitas P3B apabila memenuhi sejumlah kriteria, yaitu:


  1. Tidak berstatus sebagai subjek pajak dalam negeri Indonesia;

  2. Merupakan subjek pajak di negara mitra P3B;

  3. Tidak melakukan penyalahgunaan P3B; dan

  4. Menjadi beneficial owner, jika hal tersebut diwajibkan oleh ketentuan P3B yang berlaku.


Seluruh persyaratan di atas wajib dipenuhi secara bersamaan. Apabila salah satu tidak terpenuhi, maka sesuai Pasal 3 ayat (3) PER-25, pemotongan PPh harus dilakukan berdasarkan ketentuan umum, tanpa hak atas tarif istimewa dari P3B.


Selanjutnya, Pasal 5 PER-25 memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai makna “penyalahgunaan P3B.” Pada prinsipnya, entitas luar negeri wajib memenuhi dua kelompok kriteria.
Pertama, harus terdapat substansi ekonomi yang nyata dalam pendirian maupun pelaksanaan transaksi. Substansi ini harus sejalan dengan bentuk hukumnya, memiliki manajemen dan pegawai dengan kompetensi yang relevan, serta memiliki aset dan kegiatan usaha aktif di negara asal—bukan semata menerima penghasilan pasif dari Indonesia.
Kedua, tidak boleh ada pengaturan transaksi yang dirancang khusus untuk menghindari atau mengurangi pajak baik di Indonesia maupun di negara lain. Tindakan semacam itu dianggap bertentangan dengan tujuan utama pembentukan P3B.


Ketentuan tersebut sejalan dengan Pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang menegaskan bahwa salah satu maksud diadakannya perjanjian perpajakan internasional adalah untuk mencegah pengelakan pajak—yakni praktik menghindari kewajiban pajak di seluruh yurisdiksi atau memperkecil beban pajak yang seharusnya terutang. Bahkan, dalam preambule Model P3B OECD (versi 21 November 2017) ditegaskan bahwa tujuan P3B tidak hanya untuk mencegah pajak berganda, tetapi juga untuk menghindari kondisi non-taxation (tidak dikenai pajak di mana pun) atau reduced taxation (pajak yang terlalu rendah).


Dengan demikian, penerapan tarif P3B sejatinya ditujukan untuk memastikan agar beban pajak tidak terjadi dua kali atas penghasilan yang sama. Namun, penggunaan P3B tidak boleh dimanfaatkan sebagai sarana untuk melakukan penghindaran pajak atau memperoleh keuntungan pajak yang tidak semestinya. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap pemanfaatan P3B hanya sebatas urusan administratif—seperti pengisian Formulir DGT—adalah keliru. Pemanfaatan P3B justru menuntut pemenuhan aspek substansial dan kehati-hatian dalam praktik perpajakan lintas negara.