Pentingnya Keseragaman dan Prinsip Keadilan dalam Sistem Perpajakan atas Transaksi Digital Global
Salah satu prinsip utama dalam etika perpajakan yang sangat diutamakan adalah keseragaman atau kesamaan dalam perlakuan terhadap semua pembayar pajak, yang dalam dunia perpajakan dikenal dengan istilah equality of taxation. Prinsip ini bertujuan untuk memberikan perlakuan yang adil dan merata terhadap semua pihak yang terlibat dalam sistem perpajakan, tanpa terkecuali. Dalam konteks ini, banyak pertanyaan yang muncul terkait dengan kewajiban pemotongan pajak atas transaksi digital, khususnya apakah setiap jasa yang disediakan oleh Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PU PMSE) yang berasal dari luar negeri harus dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atau Pasal 26 oleh wajib pajak di Indonesia.
Perdagangan melalui sistem elektronik, atau yang sering disingkat PMSE, diatur dalam berbagai peraturan yang bertujuan untuk memfasilitasi transaksi barang dan jasa secara digital di ruang dunia maya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012, perdagangan melalui sistem elektronik merujuk pada transaksi yang dilakukan menggunakan perangkat elektronik dan prosedur yang sudah ditentukan. Ruang lingkup PMSE mencakup kegiatan yang terkait dengan transaksi barang dan jasa yang bertujuan untuk mengalihkan hak kepemilikan dan memperoleh imbalan atau kompensasi.
Sementara itu, dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, pengertian perdagangan diperluas untuk mencakup transaksi yang melibatkan barang dan jasa yang terjadi baik di dalam negeri maupun lintas negara. Perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) adalah bagian dari transaksi ini, di mana proses transaksi dilakukan menggunakan perangkat elektronik dengan tujuan yang sama: pengalihan hak atas barang atau jasa untuk memperoleh kompensasi.
Mulai 1 Juli 2020, Indonesia menerapkan kebijakan baru melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/PMK.09/2020, yang mengatur tata cara penunjukan pemungut PPN atas transaksi digital yang melibatkan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar negeri yang dimanfaatkan di Indonesia. Peraturan ini kemudian diperbaharui dengan PMK 60/PMK.03/2022. Berdasarkan ketentuan ini, jika suatu Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PU PMSE) dari luar negeri memenuhi kriteria nilai transaksi dan jumlah trafik, mereka akan ditunjuk sebagai pemungut PPN.
Pengenaan PPN atas transaksi digital ini bertujuan untuk memastikan bahwa penerimaan negara dari sektor digital tetap terjaga, khususnya mengingat nilai transaksi barang digital yang sangat besar. Sebagai contoh, pada tahun 2018, nilai transaksi barang digital dari luar negeri yang masuk ke Indonesia diperkirakan mencapai Rp93 triliun. Dari jumlah tersebut, PPN yang dapat diperoleh diperkirakan mencapai sekitar Rp9,3 triliun.
Beberapa negara telah lebih dulu menerapkan kebijakan pengenaan PPN atas transaksi digital yang berasal dari luar negeri. Sekretaris Jenderal Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Jose Angel Gurria, menyebutkan bahwa lebih dari 50 negara telah memberlakukan aturan serupa. Di Jepang, misalnya, setiap pelaku usaha yang terlibat dalam transaksi digital dari luar negeri diwajibkan untuk mengisi formulir pendaftaran dan menunjuk perwakilan yang berkualifikasi sebagai akuntan pajak. Demikian juga di Swiss, meskipun kewajiban pendaftaran dibatasi oleh volume peredaran usaha transaksi digital luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Sebagai bagian dari pengaturan administratif perpajakan, PU PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN akan diberikan Nomor Identitas Perpajakan. Nomor identitas ini berfungsi sebagai tanda pengenal atau identitas untuk pemungut PPN dalam rangka melaksanakan kewajiban perpajakan, seperti pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN. Meskipun mirip dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penting untuk dipahami bahwa Nomor Identitas dan NPWP memiliki perbedaan fungsi.
NPWP lebih bersifat umum dan digunakan oleh wajib pajak (baik orang pribadi maupun badan) untuk berbagai kewajiban perpajakan, termasuk pembayaran PPh, pemotongan atau pemungutan PPh, serta pemungutan dan penyetoran PPN. Sementara itu, Nomor Identitas hanya digunakan untuk kepentingan administrasi pemungutan PPN atas transaksi digital yang dilakukan oleh PU PMSE.
Karena kesamaan bentuk, sering kali terjadi kebingungannya, dan banyak pihak yang beranggapan bahwa Nomor Identitas PU PMSE harus diperlakukan seperti NPWP. Salah satu dampak dari kebingungan ini adalah praktik pemotongan PPh Pasal 23 atau Pasal 26 oleh perusahaan Indonesia saat melakukan transaksi dengan PU PMSE dari luar negeri. Padahal, sesuai ketentuan, pemotongan pajak penghasilan tidak diperlukan dalam hal ini.
Sering kali timbul pertanyaan apakah PU PMSE dari luar negeri yang memiliki Nomor Identitas Perpajakan dianggap sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Padahal, PU PMSE yang hanya melakukan transaksi digital tidak dapat dianggap sebagai BUT. Menurut ketentuan perpajakan internasional (P3B), suatu perusahaan luar negeri hanya dapat dianggap memiliki BUT di Indonesia jika mereka memiliki kehadiran fisik dan aktivitas ekonomi yang substansial di negara tersebut, seperti cabang, kantor, atau kegiatan usaha lainnya yang berlangsung lebih dari waktu yang ditentukan dalam perjanjian perpajakan internasional.
Sebagai contoh, jika PU PMSE luar negeri hanya melakukan transaksi digital tanpa kehadiran fisik di Indonesia, maka mereka tidak memenuhi syarat untuk dianggap sebagai BUT. Dalam hal ini, kewajiban pemotongan pajak penghasilan (PPh) oleh perusahaan dalam negeri tidak berlaku, dan yang berlaku hanyalah kewajiban pemungutan dan pembayaran PPN atas transaksi barang dan jasa digital.
Pengenaan PPN atas transaksi digital yang melibatkan Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PU PMSE) dari luar negeri menjadi suatu kebijakan yang penting untuk menjaga kesetaraan dalam sistem perpajakan global. Dengan adanya peraturan yang jelas, Indonesia berharap dapat memaksimalkan penerimaan negara dari sektor digital, yang semakin berkembang pesat. Bagi perusahaan Indonesia, hal yang perlu diingat adalah bahwa PU PMSE dari luar negeri yang tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia tidak perlu dipotong PPh Pasal 23 atau Pasal 26, melainkan hanya PPN atas transaksi digital yang dilakukan. Pemahaman yang benar mengenai kewajiban perpajakan ini akan menghindarkan terjadinya kebingungannya dalam administrasi perpajakan.
Melalui kebijakan ini, Indonesia semakin selaras dengan negara-negara lain dalam mengatur transaksi digital global, sekaligus menjamin penerimaan pajak yang lebih adil dan transparan di era digital ini.
2025-06-11 16:29:51
2025-06-06 06:40:08
2025-06-04 11:06:31
2025-06-02 16:43:50
Copyright @ 2022 PT Admin Pajak Teknologi All rights reserved