Tinjauan Umum Mengenai Pengaturan Secondary Adjustment dalam Transfer Pricing di Indonesia
Dalam konteks transfer pricing, terdapat tiga kategori utama penyesuaian yang dapat dilakukan oleh pihak Fiskus, yaitu penyesuaian primer (primary adjustment), penyesuaian sekunder (secondary adjustment), dan penyesuaian yang bersesuaian (corresponding adjustment). Menurut pedoman OECD tentang Transfer Pricing 2022, penyesuaian sekunder merujuk pada penyesuaian yang terjadi sebagai konsekuensi dari penyesuaian primer, bertujuan untuk menyelaraskan alokasi laba yang nyata dengan penyesuaian primer yang telah dilakukan. Seiring berjalannya waktu, peraturan terkait transfer pricing di Indonesia, khususnya mengenai penyesuaian sekunder, telah mengalami perkembangan signifikan. Salah satu perkembangan penting adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 yang memberikan kejelasan lebih lanjut mengenai ketentuan secondary adjustment.
Pengaturan Secondary Adjustment dalam PER-22/PJ/2013 dan SE-50/PJ/2013
Dasar hukum mengenai transfer pricing di Indonesia dapat ditelusuri mulai dari Pasal 18 Ayat (3) dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menetapkan kembali besaran Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak lain. Namun, peraturan yang lebih rinci terkait secondary adjustment baru mulai diatur dalam Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2013 dan Lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-50/PJ/2013, yang mencantumkan ketentuan sebagai berikut:
“Koreksi primer yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dapat mengakibatkan terjadinya koreksi sekunder. Koreksi sekunder (secondary adjustment) merupakan koreksi lanjutan yang timbul akibat adanya koreksi primer pada transaksi afiliasi…”
Peraturan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa penyesuaian sekunder dapat timbul akibat penyesuaian primer yang dilakukan oleh otoritas pajak. Namun, sayangnya, lampiran-lampiran tersebut tidak menyertakan panduan praktis yang memadai mengenai penerapan secondary adjustment, yang menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Wajib Pajak.
Peraturan Mengenai Secondary Adjustment dalam PMK Nomor 22/PMK.03/2020
Salah satu regulasi berikutnya yang mengatur tentang secondary adjustment di Indonesia adalah Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 22/PMK.03/2020, yang tercantum dalam Pasal 22 Ayat (8), sebagai berikut:
“Selisih antara nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dengan nilai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa yang sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dianggap sebagai dividen yang dikenai pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.”
Namun, perlu dicatat bahwa Pasal 22 Ayat (8) dalam PMK 22/PMK.03/2020 terkait secondary adjustment hanya berlaku dalam konteks Advance Pricing Agreement (APA), dan tidak dapat diterapkan dalam proses pemeriksaan, keberatan, atau banding dalam urusan perpajakan. Hal ini juga tercantum dalam Pasal 23 Ayat (1), yang menegaskan bahwa hanya Pasal 8 hingga Pasal 14 dalam PMK tersebut yang berlaku dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan, sebagaimana diuraikan berikut:
“Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14 juga wajib dilakukan oleh Wajib Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban di bidang perpajakan terkait transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa.”
Dengan demikian, Pasal-pasal tersebut lebih mengarah pada pengaturan APA, sementara Pasal 22 yang mengatur secondary adjustment hanya relevan dalam konteks tersebut.
Pengaturan Terbaru Tentang Secondary Adjustment dalam PMK Nomor 172 Tahun 2023
PMK Nomor 172 Tahun 2023 memperkenalkan pengaturan yang lebih komprehensif mengenai secondary adjustment, yang tercantum dalam Pasal 37 dan Pasal 38. Beberapa hal penting yang dijabarkan dalam PMK ini meliputi:
Penegasan bahwa secondary adjustment dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia.
Penentuan waktu terutangnya pajak dari secondary adjustment, yang dapat terjadi saat pembayaran penghasilan, saat penghasilan disediakan untuk pembayaran, atau pada saat jatuh tempo pembayaran.
Pembatalan secondary adjustment, yang dapat terjadi jika terjadi penambahan atau pengembalian kas yang sebesar selisih sebelum SKP diterbitkan, atau jika Wajib Pajak menyetujui penentuan harga transfer oleh Direktur Jenderal Pajak.
Penegasan bahwa secondary adjustment berlaku baik untuk transaksi dalam negeri maupun lintas batas negara, serta berlaku untuk semua bentuk hubungan istimewa yang diatur dalam Pasal 2 PMK Nomor 172 Tahun 2023.
Penggunaan manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dalam pengenaan secondary adjustment, apabila terdapat perjanjian P3B antara Indonesia dan negara mitra.
Dengan diterbitkannya PMK Nomor 172 Tahun 2023, kini Wajib Pajak memiliki dasar hukum yang lebih jelas dan rinci mengenai penerapan secondary adjustment di Indonesia. Regulasi ini memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, serta memperjelas berbagai aspek yang terkait dengan penerapan secondary adjustment dalam kebijakan transfer pricing di Indonesia.
2025-05-16 12:10:38
2025-05-15 09:52:50
2025-05-13 09:56:06
2025-05-09 14:06:17
Copyright @ 2022 PT Admin Pajak Teknologi All rights reserved